Belajar Hidup Di Perantauan

Sitting alone upon my bed at my dorm and questioning 

"Harus apa sekarang?"
"Laper. Pengen makan. Tapi siapa yang masakin?"
"Jangankan lauk, nasi putih aja nggak ada yang masakin"
"Setelah tugas selesai, harus ngapain? Masa tidur sambil main hp doang"

Mungkin itu beberapa pertanyaan yang popped out inside my head pas waktu sadar pertama kali memulai hidup sendiri sebelum kuliah di salah satu universitas di Kota Malang. Before writing down, i want to tell you guys that i am having my college time far from my home town which have 99 km away from Malang. Orang - orang biasa membahasakannya sebagai 'anak rantauan'. 

You may think that "that's not too far tho, you can't be seriuous, you can go home anytime you want." Dude, not that easy.

Big thing comes with a big risk and responsibility, salah satunya adalah aku harus bisa survive di kota orang, dengan tanggung jawab baru yang tadinya cuma siswa SMA swasta islam, yang pada akhirnya harus bisa menyesuaikan kehidupan di universitas dan jurusan yang heterogen. Bukan hanya itu, there was one thing i have woke my self up and realized, i have to living apart from my parents. Kalau di luar sana banyak anak seumuran aku (I was 17 back then) feeling excited about it, karena pasti pada mikir kalau hidup jauh dari orang tua, larangan - larangan yang selama ini berlaku di rumah bisa kita break dengan mudah. Pulang malem, nge mall sampe larut, keluar bareng temen - temen yang kadang nggak dibolehin sama orang tua kita. 

But not for me.

Hari itu, tanggal 9 Juli 2016.
Nggak lama setelah buka pengumuman lolos seleksi SNMPTN.
Aku termenung ada kali ya 5 - 10 menitan. Asking my self to be ready for anything.
Ready for being apart from a family that has been 17 years lived around me. Be there for me.


Di foto ini banyak yang anak perantauan. Semester I masih pada botak

Jujur,
Nggak siap.
Khawatir. Sedih. Bimbang. Galau, apalah kalian sebutnya.
Padahal, for a current information to you guys, aku milih univ berdasarkan kemauanku sendiri.
Jadi nggak ada yang namanya paksaan dari orang tua atau saran dari guru. It's all in my hands.

Tapi keraguan itu semua hilang gitu aja, when i finding out that my parents are happy and burst into tears that day. Bener - bener nggak nyangka reaksi mereka bakal seseneng itu. Dari situ, aku berusaha nguatin diriku sendiri, kalau memang, sesuatu yang besar itu pasti akan ada resiko dan tanggung jawab yang besar juga. Jadi nikmatin aja do. Jangan dibuat beban dan sedih berlarut. Toh itu juga pilihanmu sendiri. Tapi, apa mereka juga nggak sedih kalau hidup jauh dari anaknya? Akhirnya, malamnya kita diskusi dan ngobrol bareng sambil minum teh hangat di ruang tamu. Orang tua nyampein rasa bangga nya ke aku, karena pencapaian yang aku dapat. Dan orang tua ku udah percaya kalau memang anak mereka bisa survive dan berjuang disana sendirian. Tapi ada beberapa hal yang paling ditekankan, mungkin dari semua orang tua pasti berpesan ini.

Jaga diri.

Hal ini pasti disampein orang tua manapun ke anak nya yang mungkin bakal pergi jauh dan nggak bisa mereka pantau lagi. Karena gimanapun, anak tetep tanggung jawab orang tua. Dan apa yang aku udah bilang di atas tentang tanggung jawab, ya akhirnya kita sebagai anak perantauan pada akhirnya punya tanggung jawab ke diri kita sendiri. Berusaha manage apapun sendiri, without our parents around. Tapi disitu muncul pertanyaan baru lagi dari kepalaku, mampu nggak kamu do?

Apa yang buat aku kawatir, sebenernya bukan hidup jauh dari orangtua nya, tapi lebih ke gimana kita bisa tetep jaga amanah dan kepercayaan yang dikasih orang tua ke kita. Yang mungkin hanya terjadi once in a life time, karena sekali lagi, hidup jauh dari orang tua itu bukan hal mudah, dan begitupun sebaliknya and it comes with a big responsibility. Dan itu yang lebih aku khawatirin waktu itu. "Bisa nggak ya, jaga amanah yang udah dikasih orang tua buat aku dan nggak ngecewain mereka karena udah bolehin aku untuk 'pergi jauh'?"

To be honest, This is hard.

Ngelawan rasa males di tengah - tengah tugas yang numpuk.
Ngelawan rasa pengen keluar bareng temen di tengah perkuliahan a.k.a bolos.
Ngelawan rasa mager gara - gara kuliah pagi dan akhirnya titip absen ke temen kelas.
And other negativity that actually can attact us in any condition.

Dan semua pilihan itu ada di kita. It's in our hands.
Mau pilih jalan apapun itu ya monggo, orang nggak ada yang ngelarang.
Pasti itu doang yang ada di pikiran kita kalau lagi nggak ada orang tua kan?

Beberapa temen ada yang nanya ke aku, eye to eye, awalnya aku nggak anggep serius, tapi pertanyaannya doi nih yang buat aku agak ke triggered buat bahan blog kali ini. 

Pertanyaan doi : 
"do, lo kan anak rantau, jauh dari orang tua, sante aja kali ngejalanin hidup, sayang banget lo hidup dengan orang tua sebagai dictator lo. Apalagi nih ya, gue sering banget liat lo langsung ibadah (shalat) pas adzan. Lo gak shalat toh nyokap bokap lo gabakal tau? Mending nugas dulu gak sih."

Oke.
Pertama, aku nggak bisa nyalahin dan mojokin statement dari salah satu teman yang aku sendiri nggak expect dia bakal nanya hal seserius itu. At least, menurut aku itu serius banget.
Kedua, aku berusaha muter otak banget pas dia nanya gitu, nggak bisa juga dong aku langsung defense my self dengan hadist hadist dan defender keagamaan lainnya yang seolah bisa nguatin argumen aku dan attack dia kalau dia memang salah. Agama ku tidak sesempit itu. In case aku nggak terima dia bilang gitupun, akhirnya aku ajakin ngobrol santai anak ini sambil makan.

I ask about a certain things in life ke anak ini, dan mungkin salah satu pertanyaan yang bikin dia engap banget sampe kicep nggak bisa jawab adalah "kamu hidup untuk siapa? oleh siapa?" seper sekian menit kita berdua cuma diem, sambil makan sate, bareng sama hujan yang barusan aja turun. 

"Nggak tau" Dia jawabnya

Disclaimer, kalau aku disini cuma pengen bagiin cerita dan pengalaman ke temen - temen, bukan sebagai guru apalagi menggurui. Tapi, men, aku juga nggak bisa komen apa apa dong ke temen ini. Kalau boleh dibilang, sampai sekarang pun, aku ngelihatnya dia lebih ke lost dan nggak tau arah mau kemana dan untuk siapa dia hidup. Kadang, memang kita semua bisa ngerasain di posisi ini, apalagi keadaan kita memang lagi down banget. Dan the fact that temenku ini juga anak perantauan, buat aku makin yakin kalau memang dia sedikit kehilangan arah dan nggak ada yang bisa dipegang dan nuntun dia untuk jalan ke 'depan'. Disini aku juga belajar banyak, terlebih lagi sebagai anak rantau, kalau bukan hanya keadaan dan kondisi fisik, finansial atau materi aja yang bakal kita hadapi di perantauan, tapi juga psikis dan mental. 

Dan ini juga salah satu bukti yang secara nggak langsung ngingetin ke kita, kalo nggak selamanya hidup dengan tanpa orang tua tau apa yang kita lakukan itu enak, bebas, etc. Tapi perlu kita ingat juga, kalau kita akan selalu dalam keadaan apapun itu butuh 'pegangan', 'pegangan' ini fungsinya layaknya akar di pohon aja, kalau nggak ada akar, ya pohon ini bakal tumbang dengan mudahnya. Tapi sesedikit apapun akar itu, kalau ada akar, pohon akan tetap tumbuh walau ada angin kencang. Ini lebih relate ke mental aku dan mungkin beberapa temen - temen yang emang udah mengalami adulting. Tapi nggak berarti nggak ada jalan keluar kok, coba deh kita inget - inget lagi tujuan utama kita tuh merantau apa, jauh dari orang tua tuh kenapa, apa yang harus diperjuangakan?

Kalau kita bisa inget apa tujuan kita sebenarnya mengambil suatu langkah, terutama disini posisi aku sebagai anak perantauan, aku yakin kok, kita semua bisa melewati semua itu, Insyaallah.
Dan bicara soal mengingat tujuan, ada salah satu pesan yang orang tua ku selalu sampaikan ke anak - anaknya, kapan pun itu, dimana pun itu, bagaimana pun kondisi kita, selalu ingat Allah.

Yes, always put GOD at first line of your life.

Apapun kepercayaannya, aku yakin disini semua agama mengajarkan kita untuk bisa mengenal Tuhannya lebih baik lagi. Dan percaya atau tidak, ini adalah salah satu kunci aku pribadi agar bisa survive dan menjalani hidup (nggak hanya selama merantau untuk kuliah) kedepannya lebih baik.

Sebenernya pada akhirnya, ada satu pesan dari orang tua ku yang pengen aku sampein ke temen - temen, dan kayaknya agak 'menggurui' tapi honestly i don't meant to. Disini aku cuma pengen, kita bisa berdiskusi dua arah, dan sama - sama mengerti kondisi satu sama lain, terutama temen - temen yang sekarang masih dan sedang berjuang di tempat perantauan mau itu kuliah / sekolah / kerja, semoga sukses selalu, dan bisa mencapai apa yang diharapkan nantinya.

Comments

Post a Comment

Popular Posts